Di tengah larangan ketat terhadap pendidikan perempuan di Afghanistan, muncul fenomena yang luar biasa: universitas bawah tanah. Tempat ini bukan lembaga resmi, tidak memiliki kampus terbuka, dan jauh dari sorotan publik. slot bet 200 Ia tersembunyi di balik dinding rumah-rumah warga, ruang bawah tanah, atau bangunan kosong. Di sinilah, para perempuan muda Afghanistan tetap belajar—dalam senyap, dalam ketakutan, namun juga dengan keberanian.
Larangan pendidikan tinggi bagi perempuan sejak kembalinya pemerintahan Taliban pada tahun 2021 memaksa banyak perempuan untuk berhenti kuliah. Namun sebagian menolak menyerah. Dengan dukungan sejumlah pendidik dan aktivis, terbentuklah ruang belajar alternatif yang berfungsi layaknya universitas. Di sana, semangat menuntut ilmu terus hidup, meski ancaman mengintai setiap saat.
Ruang Gelap, Tapi Penuh Harapan
Universitas bawah tanah ini tidak seperti kampus pada umumnya. Tidak ada papan nama, tidak ada gedung bertingkat, tidak ada seragam atau jadwal resmi. Yang ada hanyalah ruangan sederhana dengan pencahayaan minim, papan tulis kecil, dan beberapa buku pelajaran. Para dosen datang diam-diam, sering kali tanpa jadwal pasti. Mahasiswa perempuan mengenakan pakaian biasa agar tidak mencolok jika terlihat oleh tetangga atau aparat.
Di tempat-tempat ini, mata pelajaran seperti matematika, biologi, sastra, hingga jurnalisme diajarkan oleh para mantan dosen universitas atau profesional yang telah kehilangan pekerjaannya karena kebijakan diskriminatif. Mereka mengajar bukan untuk gaji, melainkan demi satu hal: agar generasi muda perempuan tetap memiliki masa depan.
Risiko yang Tidak Kecil
Mengelola dan mengikuti pendidikan semacam ini bukan tanpa risiko. Jika tertangkap, para penyelenggara bisa dipenjara, disiksa, bahkan dihukum berat. Para murid bisa kehilangan hak-haknya sepenuhnya, bahkan menghadapi stigma sosial atau kekerasan. Oleh karena itu, seluruh aktivitas dilakukan dalam jaringan yang sangat tertutup. Kepercayaan adalah segalanya. Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam lingkaran ini.
Namun justru karena risikonya besar, ketekunan para perempuan yang tetap belajar menjadi semakin berarti. Bagi mereka, pendidikan bukan lagi sekadar hak, melainkan bentuk perlawanan halus terhadap ketidakadilan. Mereka tahu bahwa belajar bisa menjadi bentuk perlawanan paling kuat dalam dunia yang mencoba membungkam mereka.
Teknologi sebagai Jalur Alternatif
Meski sebagian besar universitas bawah tanah dilakukan secara langsung, teknologi juga berperan penting. Di beberapa tempat, akses ke internet masih tersedia meski terbatas. Lewat aplikasi percakapan atau kelas online yang dirahasiakan, beberapa pengajar dari luar negeri turut membantu memberi pelajaran. VPN dan perangkat enkripsi menjadi alat penting dalam mempertahankan akses terhadap ilmu pengetahuan.
Namun akses teknologi tidak selalu merata. Banyak perempuan tidak memiliki ponsel pintar atau jaringan internet yang stabil. Dalam kondisi seperti ini, buku-buku fisik dan catatan tangan menjadi sarana utama pembelajaran. Ada pula komunitas kecil yang menyebarkan materi cetak secara diam-diam ke seluruh kota.
Simbol Keteguhan di Tengah Kekangan
Universitas bawah tanah bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga ruang aman untuk perempuan Afghanistan saling mendukung dan menguatkan. Di tengah dunia yang semakin menekan, mereka menemukan cara untuk tetap berdiri tegak, meski tidak terlihat. Kisah-kisah mereka jarang terdengar di media besar, namun gema semangat mereka melintasi batas negara.
Mereka bukan sekadar pelajar, tapi simbol perlawanan diam yang penuh martabat. Mereka menolak dilupakan oleh dunia dan menolak tunduk pada nasib yang dipaksakan. Di ruang-ruang gelap yang tersembunyi, mereka menyalakan cahaya pendidikan yang tidak bisa dipadamkan begitu saja.
Kesimpulan
Universitas bawah tanah di Afghanistan menunjukkan bahwa semangat belajar tidak bisa dipadamkan, bahkan oleh tekanan politik dan sosial yang keras. Perempuan-perempuan yang belajar di ruang tersembunyi ini adalah cerminan keberanian dalam bentuk paling tenang dan mendalam. Mereka membuktikan bahwa pendidikan tidak hanya tentang ruang kelas, tetapi tentang harapan, identitas, dan hak untuk memilih masa depan sendiri.